Sudah lama, aku
ingin menulis tentang ini. Sebuah kisah cinta yang hanya bisa diam, ia tanpa
ungkapan, tak kata, namun hanya rasa yang bermain. Aku sering menyadari bahwa
seorang aku hanya bisa menjalani cinta yang bernama cinta cicing ini. Aku menyadari
pula, bahwa kebanyak seorang wanita hanya bisa menjalani cinta cicing ini,
kecuali wanita itu mempunyai keberanian ditambah sekarang adalah jaman baru
yang tak punya kemaluan.
Cicing sendiri
mempunyai 2 arti yang aku ketahui, “asu” dalam bahasa Bali dan “diam” dalam
bahasa Sunda. Tapi lebih enak kalau kita mengartikannya dari bahasa Sunda. Dan lahirlah
Cinta Cicing, Cinta dalam Diam. Awalnya, cinta cicing sendiri timbul dari
percakapan hangat dari mahasiswa yang kebetulan aku didalamnya. Saat itu kami
sedang membuat proyek RBL sebagai tugas akhir Fisika. Aku adalah orang Bali dan
semua tahu kalau arti “cicing” di Sunda dan Bali sangat jauh berbeda. Dari sanalah
timbul lelucon kecil antara aku dan beberapa temanku. Salah satu temanku itu
adalah Babon, seorang keturunan asli Garut yang sangat Sunda.
Saat itu
posisiku juga sedang mengalami kegalauan secara mental yang menyebabkan setiap
tingkah yang aku jalani begitu suram. Akibat ledekan tadi, maka timbulah suatu
ide kreatif bernama Cinta Cicing, Cinta dalam Diam. Yang settingnya
menceritakan percintaan gadis Bali dan Pria Sunda. Hhahahaha… tapi sekali lagi
itu adalah lelucon kelompok RBL kami.
Bagiku sendiri,
cinta cicing itu adalah apa yang aku jalani hari-hari ini. Aku hanya bisa diam.
Diam, diam. Tak ada yang bisa aku lakukan selain diam. Diam untuk kesekian
kalinya. Tapi aku sangat bahagia dalam diamku. Diam, bukan berarti benar-benar
diam. Namun hatiku tak pernah diam untuk selalu mendoakan seseorang agar sampai
dengan selamat ke gerbang Sabuga nanti.