Entri Populer

Minggu, 25 Mei 2014

...



Setitik waktu yang kau beri padaku
Takkan mampu meluapkan emosi jiwaku
Tentang kejujuran yang tertinggal
Menunggu dan ditunggu
Lelah…

Secercah cahaya mengusik ragaku
Terbelah hancur entah mengaburkan bayangmu
Aku cinta dirimu
Lebih yang kau tahu
Ini perasaanku

Seberkas detik yang kau punya untukku
Takkan mampu melepaskan dahaga batinku
Melepas ketinduan akan sosok sejatimu
Menyerupai daun berguguran

Secelah sinar yang kau ungkap padaku
Slalu datang seperti hujan menderasku
Rasa ini abadi seperti kisah dia
Kau tahu itu…


Nb: sajak ini di buat saat SMP tepatnya tahun 2010. Sebenarnya ini lagu yang menceritakan tentang penantian.

Kamis, 22 Mei 2014

Hadar, Sebuah Cinta tanpa Wujud



Sebuah nama sederhana pemberian seorang tak dikenal terlukis sebuah titik di langit selatan. Ya.. dia Hadar. Sebuah fiksi yang aku buat untuk menutupi sebuah kerinduan yang mendalam untuk seseorang. Dia hanya bisa dirasakan, dihayati keberadaannya melalui jiwa yang tulus. Dia memang fiksi, namun begitu nyata ketika dilihat melalui celah hati.

Sejatinya hadar adalah sebuah bintang di rasi Centaurus (β centauri). ia merupakan bintang raksasa berwarna biru yang memiliki kecerlangan 0,61 dan bintang terterang kesepuluh di langit. Jarak 525 tahun cahaya dari Bumi.

Aku memang sangat menyukai bintang. Apalagi hari ini aku pulang ke rumah di Bali dan banyak melihat bintang. Dan salah satu bintang yang aku lihat mala mini adalah Hadar. Alangkah bahagianya aku dapat melihatnya. Di Bandung, aku sangat susah melihat bintang, terlebih melihat Hadar. Perasaanku saat melihat Hadar di suatu malam di Kembang adalah bahagia. Tak ada kata lain selain bahagia. Bahagianya adalah menikmati rasa kerinduan yang tak tersampaikan kepada “Pemilik Hadar” sendiri, namun bisa aku curahkan pada malam itu. Mungkin saja aku bisa menghubungi Hadar dalam tanda kutip tersebut. Tapi buat apa? Aku terlalu takut untuk memasrahkan semua. Aku takut bila aku melakukannya semakin banyak berita duka yang bawa ke kamar sebelahku. Takut kalau nantinya aku tak bisa menjalani hidupku sebagai manusia normal.
 
Untuk terakhir kalinya, aku katakan Hadar itu adalah fiksi yang nyata. Ia tak berwujud, dia pesan, dia puisi, dia rasa, dia sayang tapi belum ingin menyebutnya sebagai cinta walau kadang perasaan ini menuju ke arahnya. Dia nyata karena dia sebuah bintang. Dia ada tapi bersembunyi di balik sebuah nama, Hadar.


tertulis untuk Hadar. Salam dari langit Tabanan. 

Senin, 19 Mei 2014

Catatan Akhir TPB (Part 1)



Nikmatnya Belajar di TPB


TPB.. semua insan muda ITB pasti mengenal hal ini. Ada yang bilang TPB itu Tahap Paling Bahagia, Tahap Penyiksaan Batin, dan berbagai macam tahap yang setelah itu diawalin dengan huruf “P” dan “B” yang intinya kalau disingkat jadi TPB. Sebenarnya sih kalau dari pihak ITB sendiri TPB adalah Tahap Persiapan Bersama. Jadi TPB ini sangat berguna untuk mempersiapkan mahasiswa ITB untuk menghadapi jejak-jejak selanjutnya. Hari ini adalah hari terakhir ujian TPB (tepatnya nanti pagi jam 10). Maka dari iyu aku ingin banget share pengalaman, perasaan, kenangan dan segalanya tentang masa TPB. Hahahah…. Ya kalau agak alay ya mohon dimaklumi ya. Soalnya yang nulis beum sepenuhnya mahasiswa, kan masih TPB (kalau kata dosen-dosen dan kakak tingkat, TPB itu kaya SMA kelas 4).
Mungkin dimulai dari nikmatnya belajar di ITB kali ya. Okay, pertama kali aku masuk kelas adalah kelas dari Pak Pepen yang membawakan mata kuliah Fisika. Pertama-tama nggak langsung belajar kok. Kalau nggak salah waktu itu kami dibagikan silabus tentang mata kuliah fisika. Setelah mata kuliah Fisika ada mata kuliah Kimia dan mata kuliah ini adalah mata kuliah yang paling menegangkan selama kehidupanku di TPB. Beliau bernama Pak Rukman, dari penampilannya mungkin pertama-tama kita akan mengira beliau sangat galak atau istilah lainnya yang membuat kita takut bahkan sangat takut kepada beliau. Tapi percayalah, kalau kalian menyimak tulisan ini dengan benar, kalian akan menemukan sisi lain dari Pak Rukman dan bahkan beliau adalah dosen favorit aku.
Hari-hari setelah itu aku jalani dengan biasa-biasa saja. Jarang ada tugas, jarang begadang seperti mahasiswa kebanyakan. Semua aku lalui dengan santainya. Sampai akhirnya aku UTS MaFiKi (matematika, fisika dan kimia). Okay kita ulas satu persatu tentang UTS. Jujur aku kalah strategi. Saat UTS aku hanya belajar soal UTS tahun lalu dan catatan yang diberikan oleh dosen. Aku sama sekali tak pernah membaca buku pegangan yang disarankan. UTS Fisika, aku sama sekali tak dapat menjawab pertanyaan yang diberikan. Aku kacau sekacau-kacaunya. Aku tak pernah begini sebelumnya. Padahal, Fisika adalah salah satu pelajaran yang aku sukai. Aku jatuh di UTS Fisika. Yang kedua adalah Matematika dan di UTS ini, aku lebih sekarat lagi. Untuk bagian A soal matematika, aku menjawabnya dengan lancer. Namun ketika masuk ke soal B, aku kacau sekacau-kacaunya. Setelah UTS, aku menangis dikamar. Aku frustasi dan bahkan aku mengatakan aku nggak kuat kuliah di ITB. Akhirnya untuk menenangkan diri, aku menelepon sahabatku di Depok, Anjas. Aku menumpahkan emosiku padanya. Aku menangis di telpon. Aku benar-benar menangis. Dia berusaha nenangin aku, tapi aku tetap menangis. Setelah menelepon, aku langsung tidur. Kata teman sekamarku, tidurku nggak tenang. Setelah melihat UTS Fisika dan Matematika yang kacau, aku berusaha untuk move on dari kegagalan saat UTS. Untuk UTS Kimia, aku benar-benar berusaha dengan baik. Sehingga saat test berlangsung, aku mengerjakan dengan percaya diri dan ketika keluar ruangan aku tersenyum dengan sangat lebar.
Oke itu kira-kira yang aku ingat dari pengalaman semester satu. Buat nilai nggak usah dibahas ya. Itu tabu dibicarakan dikalangan ITB. Hahaaaa.. lanjut!
Semester dua, nggak ada yang berubah dari semester 1. Pak Rukman masih mengajar kami, kelas kami masih di TVST (FMIPA), kami masih kuliah jam 7 dan masih tetap ada kuliah MaFiKi. Mungkin yang berubah hanya beberapa mata kuliah baru dan dosen matematika dan fisika yang diganti. Selain itu, semangat belajarku juga lebih tinggi disbanding semester 1. Okay, tadi aku bilang kalau kalian membaca tulisan ini dengan baik kalian akan tahu sisi lain dari beliau. Seperti yang aku katakan di awal, Pak Rukman adalah orang yang dapat membuat kalian tegang selama kuliah. Benar saja, setiap kuliah kimia tak ada yang berani cari gara-gara. Kalau sampai ada nih, pasti kena batunya. Sudah ada kok beberapa korbannya. Puncak dari ketakutan kami adalah ketika tugas kurva titrasi. Pak Rukman sangat marah karena tak ada satupun  tugas kami yang benar. Semua tugas yang telah dikumpulkan dilempar! Aku sedih sekali saat itu. Namun percaya atau tidak, bagaikan film yang sehabis klimaks dilanjutkan ending yang bahagia, Pak Rukman luluh setelah itu. Beliau sangat perhatian pada kami. Beliau lebih banyak tersenyum dan mengajak kami bercanda. Setiap kuliah, Bapak selalu member wejangan pada kami, baik itu tentang kehidupan mahasiswa dan kadang-kadang soal cinta. Hahahah… yang paling aku ingat adalah ketika Bapak bilang kalau saat yang tepat cari jodoh adalah saat TPB karena tidak banyak pertimbangan. Langsung saja tuh aku praktekan, ya tapi hanya wacana dimulut saja.
Banyak hal yang membuat aku sangat menghormati beliau. Secara tidak langsung, beliau menjadi motivator handal dalam mata kuliah kimia. Hal itu terbukti dari pencapaianku di kimia. Walau hasilnya tak pernah menyentuh angka 8, tapi nilaiku lumayanlah. Selain itu cara mengajar dan mendidik kami juga sangat baik. Dibalik sikapnya yang kadang keras, tapi dibalik itu semua ada kasih akung yang melimpah. Bapak hanya ingin melihat kami menjadi mahasiswa yang kelak akan menjadi orang yang berguna. Aku sangat menghormati Pak Rukman dan berupaya agar beliau tidak kecewa melihat nilai UTSku.
Ya mungkin dari nikmatnya belajar di ITB hanya itu yang bisa aku jelaskan. Intinya kalau mau nilai bagus itu perlu perjuangan ekstra dan nggak bisa main-main. TPB mengajarkanku agar selalu kuat dan senantiasa selalu belajar dan belajar. TPB juga mengajarkan bagaimana survive sebelum nantinya menginjak materi-materi yang berkali-kali lipat lebih susah di jurusan. Aku yakin, nggak semua temen-temen TPB ngerasain apa yang aku rasa. Intinya semua punya ceritanya masing-masing tentang belajar saat TPB. Mungkin adanya suka atau tidak. Tapi satu yang harus dilakukan semua umat TPB yaitu bersyukur dengan adanya TPB. Setidaknya kalau yang enjoy menjalaninya akan merasa banyak dapat ilmu baru dan bagi yang tidak suka setidaknya dapat belajar lebih sabar untuk masuk penjurusan.


Oke, tunggu part berikutnya ya!

Jumat, 16 Mei 2014

Untuk Siapa?



Aku adalah orang yang egois
Aku adalah orang yang ambisius
Aku adalah orang yang tidak ingin menjadi nomor dua
Aku benar-benar orang yang sombong dengan keterbatasan
Suatu hari,
Aku ditegur oleh sang Pencipta
Aku dibuat patah,
Aku dibuat sakit,
Aku diterkam dan aku ditelanjangi!
Ia membuat harga diriku turun dibawah harga semestinya
Lalu Ia berkata,
“Hei, Nak! Apa yang kau lakukan selama ini?
Kau sia-siakan hidupmu untuk dirimu seorang?
Hei, Nak! Kalau kau hanya membahagiakan dirimu,
Lebih baik ku pindahkan kau ke neraka
Agar kau sadar betapa tersiksanya bahagia dengan keegoisan!”
Aku tak bisa berkata
Aku terseret dalam kegalauan
Aku jatuh, aku jatuh dan jatuh!
Lalu aku terdiam dan menangis
Seketika aku melihat ke Atas dan berkata,
“Sebenarnya aku hidup untuk Siapa?”

Aku Rindu Berbagi

Malam ini, aku kembali dilanda insom berkepanjangan. Tadi aku sempat berbincang dengan teman-temanku masalah kami di kampus hingga flashback ke masa SMA. Dari cerita itu timbul kesedihan yang mendalam prihal kisah cinta SMA ku yang sampai sekarang tidak ada habisnya. Aku memutuskan untuk mencari hiburan lain yaitu menonton youtube sambil chatting dengan kakak tingkat dan sahabatku saat SMA yang kini kuliah di Surabaya. Selagi belayar di dunia maya, aku juga mengintip twitter-ku, siapa tahu ada pemberitahuan baru. Aku juga beberapa kali menulis pikiranku dalam kolom twitter tentang pandanganku tentang kehidupan. Salah satunya adalah “apabila dunia tidak berpihak padamu, katakan padanya “aku masih ingin melihat senjamu”. Aku memang orang yang suka mengungkapkan perasaan melalui rangkaian kata indah. Maklum sejak SMP, aku dididik untuk menjadi seorang penyair (saat SMP aku adalah salah satu peserta club sastra di sekolah).
Setelah sekian lama mengerjakan hal yang tak pasti, aku teringat pada tulisan seorang teman di Anak Bertanya. Lalu, tiba-tiba aku menemukan kumpulan pertanyaan dari anak-anak SOS Bantas di Tabanan. Salah satu pertanyaan yang paling menggelitikku untuk menuliskan ini semua adalah, “Mengapa Matahari panas sekali?” seketika aku teringat dengan kegiatan bakti sosial yang aku ikuti bersama Komunitas teaterku saat SMA. Kebetulan saat itu kakakku memintaku untuk share tentang matahari. Kebetulan saat SMA aku sangat freak dengan astronomi, jadi kakakku itu memintaku untuk membagi sedikit ilmuku pada anak-anak di Lovina. Sehari sebelum bakti sosial, aku dan kakakku yang bernama Mbok Yas pergi keluar untuk mencari hadiah untuk anak-anak di Lovina. Aku membelikan mereka sebuah poster yang isinya tentang matahari. Aku sangat bersyukur karena aku menemukan poster tersebut.
Singkat cerita, aku dan kawan-kawan teater menuju Lovina. Di sana kami bertemu dengan bli Pande yang kebetulan teman dari Mbok Yas. Bli Pande adalah seorang pemerhati. Dia pendiri Komunitas Anak Alam dan aku sangat kagum padanya. Di sana aku juga bertemu seorang teman baru bernama Indra dari SMAN 4 Denpasar. Dia merupakan anggota sispala di sekolahnya dan sangat aktif di Komunitas Anak Alam. Di pantai yang indah itu, aku juga bertemu dengan anak-anak yang akan aku ajak berinteraksi. Mereka adalah anak-anak Lovina yang kerjanya adalah berjualan kalung-kalung dan aksesoris lainnya. Melihat mereka aku menjadi sedih. Tak pernah aku membayangkan jika posisi mereka digantikan olehku. Kesedihan itu pun berujung pada rasa syukur yang mendalam atas karunia Hyang Widhi, Tuhanku yang selalu menyayangiku tanpa batas.
Oke aku lupa setelah itu bagaimana yang pasti di sela-sela kegiatan itu aku membagi ilmuku tentang matahari. Semua materi yang aku persiapkan langsung buyar melihat mereka. Tak mungkin dong aku menjelaskan tentang reaksi matahari atau tentang siklus matahari pada meraka. Seketika aku bingung bagaimana menjelaskan dengan baik agar mereka mengeri. Aku tentang dan mulai berbicara. Aku ingat, pertama kali aku bertanya pada mereka, “Kalian tahu apa itu matahari?” tanyaku dengan gaya yang super lebay dan sok kocak. Mereka pun dengan semangat menjawab pertanyaanku. Aku lupa jawabannya seperti apa, yang pasti mereka sangat antusias! Seketika rasa nervous langsung lenyap ditelan badai. Dengan semangat 45 aku langsung beraksi dengan penjelasan-penjelasan sederhana. Yang paling aku ingat dari aksiku adalah aku menyebutkan sesuatu yang sangat sulit, “definisi”. Mbok Yas langsung teriak, “Woii kesusahan!” lalu dengan santai aku mengubahkan itu. Aku lupa menggantinya dengan apa. Hahahah… salah satu dari mereka bertanya, “Kak, matahari deket nggak sih?” Dengan ekspresi maksimal aku jelaskan kalau matahari itu jauh banget. Lalu dia bertanya lagi, “Lebih jauh dari Singaraja ke Lovina?”. Dengan gaya yang lebih lebay lagi, aku menjelaskan jauh banget.
Aku terus menjelaskan dengan pengetahuan yang sederhana. Aku melihat mereka banyak yang antusias. Disela-sela itu aku juga sempat bertanya apa cita-cita mereka, ternyata ada yang ingin jadi dokter! Kata Bli Pande, anak itu ranking 1 di kelasnya dan sangat menginginkan punya sepeda. Aku langsung sedih mendengarnya. Aku selalu merengek minta dibelikan sesuatu dan harus dipenuhi! Tapi hari itu aku melihat kenyataan kalau masih ada anak yang sabar menanti keinginannya dipenuhi. Aku merasa berdosa dengan papa di rumah. Diakhir acara aku memberikan hadiah yang aku persiapkan kemaren yaitu poster matahari!


Mengingat moment tersebut, hatiku kembali terketut untuk berbagi dunia lagi. Tadi sore, ketika aku berbincang dengan teman-teman kost, aku menyebutkan bahwa kebahagiaanku adalah ketika melihat transkip nilaiku bagus. Sekarang semua itu terkesan tak ada apa-apanya, semua terasa tersingkir ketika kata “berbagi” ada disela-sela keegoisan dan kesombongan diri. Aku ingin menemukan kebahagiaanku dengan cara membagi duniaku dengan semua orang yang membutuhkan. Tidak lagi untuk nafsu, tidak sama sekali. Aku rindu berbagi, Tuhan. 

Tulisan ini aku persembahkan untuk Tuhan, keluargaku di rumah, Kontras, Komunitas Anak Alam Bali, adik-adikku tersayang di Lovina, dan sahabat-sahabat yang senantiasa berbagi. Terima kasih telah menginspirasi 


Dokumentasi