Entri Populer

Kamis, 25 Juni 2015

Sunyi

Kesunyian ini bernama tanpamu
Menelanjangi kebahagiaan yang sudah disusun
Membutai mata hati yang telah dilatih menjadimu
Menutup mulut untuk berbicara aku sedang membutuhkanmu
Lalu kesunyian ini bernama ketiadaanmu
Membunuh setiap rongga hidup
Meracuni insan hati yang berusaha menyatu
Menelantarkan anak kecil merayu
Kesunyian ini bernama kepergianmu

Jumat, 12 Juni 2015

Sakit



Dalam rintih, aku bertanya pada Ilahi
Tentang sakit menerpa musim-musim yang selalu berganti
Lalu apa maksud dari kesakitan pada hari haru terbenam?
Lalu ia terbit lagi di horizon pikir
Lalu ia sakit merintih tak tahu arah tapi ia tahu harus kemana
Sakit melihat sakit yang telah menjadi penyakit

Sabtu, 14 Februari 2015

Lalu

Lalu yang punya pergi
Lalu yang punya datang
Lalu yang punya melepas
Lalu yang punya menggenggam
Lalu yang punya hilang
Lalu yang punya muncul
Lalu yang punya berlalu
Lalu yang punya ….

Lalu 

Jumat, 13 Februari 2015

Siluet

“Samar…
Tapi ia masi nampak
Hitam putih
Lalu terpisahkan sekat
Nampak…
Tapi semakin samar
Hitam putih
Dan tertahan sekat”

Ada yang unik dari hari itu. 3 hari yang aneh dengan 2 paket kejadian. Aku sebut itu kejadian ruang dan lapang. Karena kejadian itu menyita ruang dan harus melapangkan dada untuk menarik nafas, senang atau malah negasi darinya. Aku aku kumpulkan lagi memori-memori tentang kehidupan ruang dan lapang itu. Jelas teringat bahwa kejadian-kejadian itu membawa maksud, titipan Tuhan. 3 hari berturut-turut disambut, berkali-kali aku meremas lengan 3 orang berbeda dihari itu. 3 hari berturut-turut aku menggigit bibirku sendiri lalu menundukkan kepala. Dan satu hari paling konyol, menyanyikan lagu tentang kembali dan manusia itu datang. Luar biasa! Apa yang hendak Tuhan sampaikan?
“Samar..
Semakin tampak
Aku memeluk bayangan dan berusaha menemukan sosok dibalik sekat
Lalu..
Nampak lagi
Perasaan yang tersamarkan oleh waktu
Hingga tiba saatnya aku sadar ia hanya bayangan
Bayangan senja yang bisa dinikmati
Bukan untuk dimiliki”

Sungguh sangat sadar dengan logika yang mendalam. Berapa kali aku berusaha menatap matanya. Tak bisa! Dia bayang. Tak bisa membaca arti bola matanya. Tak bisa menerk arti senyumnya. Tunggu, aku lupa dia bayangan! Bahkan aku tak bisa melihat senyumnya.

“Lalu aku memutuskan untuk putus
Putus dari kenyataan
Putus dari dunia
Lalu menyelam masuk dalam bayang
Hitam putih
semoga aku tak lupa masih punya masa depan”


Selasa, 10 Februari 2015

Wisuda Oktober

Hari ini, sudut perpustakaan. Aku harus rela belajar sambil ditemani banyak pertanyaan di otakku. Bukan hanya tentang materi yang ada di hadapanku, bukan tentang apa yang dipelajari Nopal atau Dimas. Semua kembali memori saat Wisuda Oktober setahun yang lalu. Aku sebut itu adalah kenangan yang tak terlupakan. Kenangan yang kadang membuat tersenyum bahagia, tersenyum tipis, dan juga sedih berkepanjangan. Ditambah lagi lagu-lagu di playlist yang membuat aku semakin ingat pada salah satu objek hari itu. Hm… rasanya berat sekali. Sesekali harus aku tundukan kepalaku sejenak. Bukan karena bingung masalah program yang aku buat, tapi sedih atas apa yang aku alami, Wisuda Oktober.


Kenapa harus Wisuda Oktober? Padahal tentu banyak kejadian selain wisuda oktober yang pernah kami alami. Entah. Mungkin itu adalah awal. Saat syukuran. Saat hari wisuda itu sendiri. Ya sudah. Yang jelas aku sedih, tapi senang untuk mengenangnya. Kenapa harus wisuda? Karena sebentar lagi Wisuda Maret. Mungkin tak ada kenangan manis lagi. Tak ada kejadian perjalanan dari kampus, tak ada kejadian makan atau hanya sekadar minum the susu di Sadikin. Kuning dan biru juga hilang. Tidak untuk semua itu. Mungkin aku juga tidak ikut serta dalam semua perayaan megah itu. Yang jelas ada satu yang masih ada, cinta dalam doa yang suci di pagi hari.

Senin, 09 Februari 2015

Sudut

Sudut itu dipersempit
Mempersempit ruang dan waktu
Mempersempit kisah dan cita
Mempersempit angan dan harapan
Mempersempit kesempatan untuk kembali
Mempersempit jalan untuk pulang

Sudut itu semakin sempit
Sudut itu semakin meruncing
Menjadi tajam seketika
Menjadi senjata pembunuh
Lalu menyerang hati dan pikiran
Aku mati oleh sudut

Minggu, 08 Februari 2015

Mencintaimu dengan Sederhana



Judul ini terinspirasi dari sebuah puisi Bapak Sapardi. Dimana dalam baitnya tertulis:

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Tak ada lirik yang seindah setiap kata pada puisi itu jalau tentang cinta, cinta dan cinta.
Lalu hari ini aku selalu berdoa untuk segala kebaikan, lalu hari ini aku berharap masih ada cara, setidaknya hanya untuk bertegur sapa atau yang paling sederhana, tersenyum kepada orang itu, orang yang aku sangat cintai.

Seketika teringat kejadian tadi siang, ketika aku duduk di dekat pintu sebuah ruangan di sudut kampus. Pandangan ku fokus pada semesta dihadapanku. Entah kenapa ada hal yang memanggilku untuk menoleh ke belakang. Ya, ternyata kehadiranmu menyita sedetik waktuku untuk sekadar melihatmu hari ini. Aku memalingkan muka. Terlalu takut melihat wajahmu, bahkan aku sangat takut merasakan kehadiranmu. Lalu aku tertunduk diam dan kembali ke semestaku.

Suaramu, kapanpun membuat aku selalu jatuh cinta. Aku sengaja mengeraskan volume headset agar tak mendengar suaramu, agar tak jatuh cinta lagi  padamu. Tapi nurani memaksaku untuk melepaskan itu dan mencicipi sedikit suaramu, mencicipi indahnya tenggelam dalam cintamu. Oh Tuhan, aku tak kuasa! Rasanya aku tak kuat lagi dan ingin pergi dari singgasanaku. Akhirnya aku putuskan untuk berlalu bersama seorang teman yang kebetulan itu pergi bersama jalannya waktu.

Aku lega. Lega bukan karena lepas dari pandanganmu. Tapi lega karena setelah berada berpuluh meter darimu, aku bisa melanjutkan cintaku dalam diam terhadapmu, melanjutkan bercinta dengan bayanganmu, melanjutkan harapan akan sebuah penantian kosong itu. Karena dengan berada di dekatmu, banyak pagar dan undang-undang yang membatasi, sungkan dan rasa malu. Entah malu karena kenangan busuk kita atau sungkan karena patah yang sangat patah.
Aku melanjutkan tujuanku tanpa temanku itu. Dia pergi pulang ke istananya dan aku pergi memikul beban yang lain.

Waktu berlalu dengan cepat, detik berdenting melalui jam di dinding. Ada saatnya aku angkat bicara pada forum itu, dan ada jeda untuk aku diam lama lalu bermain dengan pikiran liar. Aku kadang tertunduk memikirkan kuliah atau sekadar memikirkan besok harus pulang sore. Namun ketika indra penciumanku terganggu oleh bau, bau yang tidak asing, bau yang pernah menemani setiap malamku dan aku tahu siapa pemiliknya, kamu! Aku tahu kamu tak ada di forum itu, aku tahu aku hanya berhalusinasi. Tapi entah, semua begitu nyata dan berulang kali tercium. Dan aku lalu tahu jawabannya apa, aku begitu rindunya. Mungkin. Tapi pasti kamu tak rindu, bahkan memikirkanku saja tidak.

Kembali pada judul dan bait puisi itu. Ya ini yang aku maksud cinta yang sederhana. Cinta hanya dengan bayangan. Tak pernah marah atau cemburu. Tak ada tuntutan. Seperti kayu dan api serta bagai hujan dan awan. Aku memang pandai merangkai kata, tapi aku belum pandai dalam mencintaimu. Maafkan. Mungkin kamu sudah tidak nyaman. Tapi aku ikhlas dengan segalanya. Walau ikhlasku masih belajar. Karena bahagiaku adalah dirimu, jadi aku harus selalu senang ketika kamu senang. Maaf tak berani menatapmu apalagi menjadi pembicara yang baik dihadapanmu. Maaf hanya bisa menjadi anon di ask.fm mu. Maaf!

Bosan ya dengan kata maaf? Hahahaha.. aku lebih dari bosan mengucapkan padamu. Tapi tak akan pernah bosan belajar jadi orang yang baik. Selalu tak akan bosan menyebutmu dalam doa sederhanaku. Dan  kalimat terakhir dihari ini yang harus kamu tahu:

“Menunggumu bukan jawaban atas kegelisahan dan kesedihan, tapi aku akan tetap melakukan itu. Tak akan bosan. Sampai ada orang yang menyadarkan kebegoanku. Dan pasti kamu bisa menebak kalau aku tak menemukan orang itu. Selamat! Kamulah pemilik sejati dari hati bernama aku.”

Sekian.


Kamis, 29 Januari 2015

Hari Ini

Hari ini aku
Dalam perjalananku
Aku melihat dua anak perempuan bersepeda dengan girangnya
Seorang anak perempuan menyusul dari belakang
Tak jelas tapi terasa betapa bahagianya mereka

Hari ini aku
Dalam sisa perjalananku
Aku memperhatikan
Kakek dan cucunya
Di sebuah stasiun tadi pagi
Melihat kereta yang silih ganti berdatangan
Memandangi keretaku yang menunggu sebuah kereta berlainan arah
Cucu memandangi deretan gerbong itu dengan penuh suka cita
Dan kakek memperhatikan cucunya dengan penuh kebahagiaan

Hari ini
Aku turun dari kereta
Dengan padangan hampa
Memperhatikan disekitarku yang seharusnya sudah terbiasa
Yang seharusnya aku bahagia karena akan memeluk adikku
Yang seharusnya bahagia karena akan merasakan nikmatnya rumah
Tapi sakit masih terasa
Melintas bayangan fahri diujung stasiun hari ini
Nanar

Tuhan,
Tak bisakah aku bahagia seperti gadis2 itu?
Atau seperti anak kecil yang digendong kakeknya?
Aku kembalikan memori tentang Fahri dihati
Berjalan mencari jemputan
Jemputan mengobati patah yang sangat patah

Rabu, 21 Januari 2015

Seseorang Bernama Delpi

Delpi
Namamu aku beri nama tanpa sengaja
Menyamarkanmu dari dunia nyata yang tak seharusnya kamu ketahui
Menyembunyikanmu dari ketidaktahuan yang aku sengaja sembunyikan
Memelukmu tanpa kamu tahu aku peluk dengan hanya menyebut namamu

Delpi
Orang yang mencintaiku dengan diam
Mendoakanku agar selalu selamat di sini
Laki-laki yang mencintaiku setelah ayahku

Delpi
Cinta yang aku lupakan karena kelemahanku
Cinta yang tetap mencintaiku walau aku sering lupa
Cinta yang selalu mencinta tanpa pamrih

Cinta yang selalu menggenggam kekurangan aku

Untuk Fahri


Sebulan yang lalu
Kita membuat cerita
Sebulan yang lalu
Kita tertawa
Sebulan yang lalu
 kita berpelukan
Sebulan yang lalu
kamu masih menggenggam

Hari ini
Kita masih membuat cerita
Tapi masing-masing
Hari ini
Kita tertawa
Tapi bersama yang lalu
Tanpa ketulusan, itu aku bukan kamu
Hari ini
Kita berpelukan
Bukan memelukmu
Kamu memeluk seseorang yang lain
Aku memeluk kenangan kita
Hari ini
Kamu menggenggam
Tapi bukan menggenggam tangan ini
Aku menggenggam tanganku berdoa untuk mu disana

Sebulan kemudian
Aku tertawa
Berharap ada seseorang
Sebulan kemudian
Aku membuat cerita
Bersama seseorang
Sebulan kemudian
Aku memeluk
Berpelukan dengan seseorang
Sebulan kemudian
Aku menggenggam tangan seseorang
Agar dia tak pergi

Seseorang…
Itu kamu
Masih berharap itu kamu

Seseorang dua bulan lalu