Judul ini terinspirasi dari sebuah puisi Bapak
Sapardi. Dimana dalam baitnya tertulis:
Aku
ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku
ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Tak ada lirik yang seindah setiap kata pada puisi
itu jalau tentang cinta, cinta dan cinta.
Lalu hari ini aku selalu berdoa untuk segala
kebaikan, lalu hari ini aku berharap masih ada cara, setidaknya hanya untuk
bertegur sapa atau yang paling sederhana, tersenyum kepada orang itu, orang
yang aku sangat cintai.
Seketika teringat kejadian tadi siang, ketika aku
duduk di dekat pintu sebuah ruangan di sudut kampus. Pandangan ku fokus pada
semesta dihadapanku. Entah kenapa ada hal yang memanggilku untuk menoleh ke
belakang. Ya, ternyata kehadiranmu menyita sedetik waktuku untuk sekadar
melihatmu hari ini. Aku memalingkan muka. Terlalu takut melihat wajahmu, bahkan
aku sangat takut merasakan kehadiranmu. Lalu aku tertunduk diam dan kembali ke
semestaku.
Suaramu, kapanpun membuat aku selalu jatuh cinta.
Aku sengaja mengeraskan volume headset agar tak mendengar suaramu, agar tak
jatuh cinta lagi padamu. Tapi nurani
memaksaku untuk melepaskan itu dan mencicipi sedikit suaramu, mencicipi
indahnya tenggelam dalam cintamu. Oh Tuhan, aku tak kuasa! Rasanya aku tak kuat
lagi dan ingin pergi dari singgasanaku. Akhirnya aku putuskan untuk berlalu
bersama seorang teman yang kebetulan itu pergi bersama jalannya waktu.
Aku lega. Lega bukan karena lepas dari
pandanganmu. Tapi lega karena setelah berada berpuluh meter darimu, aku bisa
melanjutkan cintaku dalam diam terhadapmu, melanjutkan bercinta dengan
bayanganmu, melanjutkan harapan akan sebuah penantian kosong itu. Karena dengan
berada di dekatmu, banyak pagar dan undang-undang yang membatasi, sungkan dan
rasa malu. Entah malu karena kenangan busuk kita atau sungkan karena patah yang
sangat patah.
Aku melanjutkan tujuanku tanpa temanku itu. Dia pergi
pulang ke istananya dan aku pergi memikul beban yang lain.
Waktu berlalu dengan cepat, detik berdenting
melalui jam di dinding. Ada saatnya aku angkat bicara pada forum itu, dan ada
jeda untuk aku diam lama lalu bermain dengan pikiran liar. Aku kadang tertunduk
memikirkan kuliah atau sekadar memikirkan besok harus pulang sore. Namun ketika
indra penciumanku terganggu oleh bau, bau yang tidak asing, bau yang pernah
menemani setiap malamku dan aku tahu siapa pemiliknya, kamu! Aku tahu kamu tak
ada di forum itu, aku tahu aku hanya berhalusinasi. Tapi entah, semua begitu
nyata dan berulang kali tercium. Dan aku lalu tahu jawabannya apa, aku begitu
rindunya. Mungkin. Tapi pasti kamu tak rindu, bahkan memikirkanku saja tidak.
Kembali pada judul dan bait puisi itu. Ya ini
yang aku maksud cinta yang sederhana. Cinta hanya dengan bayangan. Tak pernah
marah atau cemburu. Tak ada tuntutan. Seperti kayu dan api serta bagai hujan
dan awan. Aku memang pandai merangkai kata, tapi aku belum pandai dalam
mencintaimu. Maafkan. Mungkin kamu sudah tidak nyaman. Tapi aku ikhlas dengan
segalanya. Walau ikhlasku masih belajar. Karena bahagiaku adalah dirimu, jadi
aku harus selalu senang ketika kamu senang. Maaf tak berani menatapmu apalagi
menjadi pembicara yang baik dihadapanmu. Maaf hanya bisa menjadi anon di ask.fm
mu. Maaf!
Bosan ya dengan kata maaf? Hahahaha.. aku lebih
dari bosan mengucapkan padamu. Tapi tak akan pernah bosan belajar jadi orang
yang baik. Selalu tak akan bosan menyebutmu dalam doa sederhanaku. Dan kalimat terakhir dihari ini yang harus kamu
tahu:
“Menunggumu
bukan jawaban atas kegelisahan dan kesedihan, tapi aku akan tetap melakukan
itu. Tak akan bosan. Sampai ada orang yang menyadarkan kebegoanku. Dan pasti
kamu bisa menebak kalau aku tak menemukan orang itu. Selamat! Kamulah pemilik
sejati dari hati bernama aku.”
Sekian.