Hari ini beribu jawab menghantui hati yang gundah. Melihatmu
dalam suatu ruang kotak dimensi kita membuatku sadar keberadaanmu berarti jauh
yang teramat menyakitkan. Hari ini, asa itu dibubarkan oleh hadiah yang kau sajikan
dihadapanku. Selama ini aku hanya dihadapkan pada mimpi-mimpi semua yang aku
buat dengan duniaku sendiri. Mimpi yang membuatku bertahan. Mimpi yang menjadi
kekuatan, mimpi yang menjadi nafas, mimpi yang menjadi jiwa. Hari ini aku masih
mengumpulkan puing-puing kekuatan itu, nafas yang nyaris putus, jiwa yang
nyaris dicabut oleh Tuhan hanya untuk menginjak tanah tempat kau mengundang. Aku
berusaha menawar senyum pada hatiku yang nyaris lumpuh dan aku berusaha menahan
air dari pelupuk mataku. Semuaku lakukan karena ku anggap ini adalah
persembahan terakhir yang bisa kuperjuangkan untuk orang yang kucinta.
Lebih dari lima tahun setelah kita mengucap sumpah di gedung itu, aku masih
belum bisa melepas bayangmu dari pandanganku. Tak kenal seberapa jauh
Indonesia-Jerman dan tak tahu untaian rindu yang terpanjatkan, hari-hari yang
melelahkan itu mampu mempertahankan rasa yang telah aku buat dari tingkat
dimana kita mempelajari semesta jauh dari semester-semester sebelumnya.
“Matahari kini semakin surut, tak kau ucap saja rindu
padanya yang telah lama kau tunggu?” kata seseorang kawan disebelahku.
“Kalau Tuhan izinkan, sudah kulakukan itu sejak sedia kala. Kamu
pernah lebih baik mana, ganti Tuhan atau ganti pacarkan? Bagiku, tak ada yang
bisa menggantikan Tuhan siapapun. Beliau kekal adanya di hati masing-masing
insan. Masih bisa kamu mengatakkan aku akan ganti Tuhan? Tapi perlu kamu
ketahui aku tak bisa menggantinya dari segala ruang pikiranku. Tahun pertama di
Jerman sangat berat, apalagi Bandung tak bisa lepas dari bayang-bayang.”
“Move on!”
“Kalau bisa, seharusnya jarak yang terlampau jauh bisa
menepis hasrat untuk bersama. Aku telah kehilangan jejaknya, namun harapa masih
ada untuk orang yang selalu berdoa.”
“Umurmu berapa sekarang?”
“Jalan 29 tahun.”
“Sudah saatnya kamu membuka hati!”
“Membubarkan segala cinta yang telah dibangun
bertahun-tahun? Aku tidak yakin dengan hal itu! itu bahkan lebih sulit dari
persama Friedmann yang sempat diajarkan Bu Hesti. Kamu ingat tidak ketika aku
kehilangan arah karena nilai UTS Pengantar Kosmologiku jelek? Aku seperti orang
bodoh saat itu. Namun setidaknya saat itu senyumku masih bisa ditawar dengan
harga murah. Bahkan aku masih bisa ketawa! Tertawa seperti orang gila. lalu
hari ini aku seperti kehilangan arah lagi.”
“Bukannya kamu sempat mengalami ini dulu? Masda? Lalu kamu
masih baik-baik saja. Bahkan kamu masih menjadi mahasiswa terbaik di angkatan. Hei,
kamu tidak lemah!”
“Tapi waktu masih ada sisa harapankan saat itu? Setidaknya
belum ada yang mengontrak dia.”
“Sebegitu cintakah kau dengannya?”
“Bohong jika aku berkata tidak!”
“Kenapa?”
“Ada daun yang jauh dari pohon, lalu ia tertiup angin. Kamu bisa
membayangkan betapa tak berharganya daun itu. tapi tanah begitu mencintainya. Ia
menjadikan sebuah daun yang berharga dengan menyediakan seluruh badannya untuk
daun itu bersandar. Bukan hanya tempat menaruh beban tapi tanah mampu
menjadikannya berguna untuk menyuburkannya.”
“Dia tanah?”
“Tanah yang membuatku mati tidak sia-sia.”
“Semua orang bisa menjadikannya tanah bagimu! Apa kamu pikir
dulu aku tak menjadikan diriku tanah bagimu?”
“Daun jatuh dimana dia ditakdirkan jatuh. Aku ditakdirkan
jatuh di tanahnya.”
Dunia membisu, kelabu menerkam perasaan hampa. Percakapan hari
ini diakhiri oleh diam. Mungkin temanku itu lelah. Kami memandangi hal yang
sama, pada satu tujuan. Namun arti dari pandangan kami berbeda. Berusaha kuat
menatap atau bahagia karena telah dipertemukan.