Entri Populer

Kamis, 07 April 2016

Percakapan

Hari ini beribu jawab menghantui hati yang gundah. Melihatmu dalam suatu ruang kotak dimensi kita membuatku sadar keberadaanmu berarti jauh yang teramat menyakitkan. Hari ini, asa itu dibubarkan oleh hadiah yang kau sajikan dihadapanku. Selama ini aku hanya dihadapkan pada mimpi-mimpi semua yang aku buat dengan duniaku sendiri. Mimpi yang membuatku bertahan. Mimpi yang menjadi kekuatan, mimpi yang menjadi nafas, mimpi yang menjadi jiwa. Hari ini aku masih mengumpulkan puing-puing kekuatan itu, nafas yang nyaris putus, jiwa yang nyaris dicabut oleh Tuhan hanya untuk menginjak tanah tempat kau mengundang. Aku berusaha menawar senyum pada hatiku yang nyaris lumpuh dan aku berusaha menahan air dari pelupuk mataku. Semuaku lakukan karena ku anggap ini adalah persembahan terakhir yang bisa kuperjuangkan untuk orang yang kucinta.
Lebih dari lima tahun setelah  kita mengucap sumpah di gedung itu, aku masih belum bisa melepas bayangmu dari pandanganku. Tak kenal seberapa jauh Indonesia-Jerman dan tak tahu untaian rindu yang terpanjatkan, hari-hari yang melelahkan itu mampu mempertahankan rasa yang telah aku buat dari tingkat dimana kita mempelajari semesta jauh dari semester-semester sebelumnya.

“Matahari kini semakin surut, tak kau ucap saja rindu padanya yang telah lama kau tunggu?” kata seseorang kawan disebelahku.

“Kalau Tuhan izinkan, sudah kulakukan itu sejak sedia kala. Kamu pernah lebih baik mana, ganti Tuhan atau ganti pacarkan? Bagiku, tak ada yang bisa menggantikan Tuhan siapapun. Beliau kekal adanya di hati masing-masing insan. Masih bisa kamu mengatakkan aku akan ganti Tuhan? Tapi perlu kamu ketahui aku tak bisa menggantinya dari segala ruang pikiranku. Tahun pertama di Jerman sangat berat, apalagi Bandung tak bisa lepas dari bayang-bayang.”

“Move on!”

“Kalau bisa, seharusnya jarak yang terlampau jauh bisa menepis hasrat untuk bersama. Aku telah kehilangan jejaknya, namun harapa masih ada untuk orang yang selalu berdoa.”

“Umurmu berapa sekarang?”

“Jalan 29 tahun.”

“Sudah saatnya kamu membuka hati!”

“Membubarkan segala cinta yang telah dibangun bertahun-tahun? Aku tidak yakin dengan hal itu! itu bahkan lebih sulit dari persama Friedmann yang sempat diajarkan Bu Hesti. Kamu ingat tidak ketika aku kehilangan arah karena nilai UTS Pengantar Kosmologiku jelek? Aku seperti orang bodoh saat itu. Namun setidaknya saat itu senyumku masih bisa ditawar dengan harga murah. Bahkan aku masih bisa ketawa! Tertawa seperti orang gila. lalu hari ini aku seperti kehilangan arah lagi.”

“Bukannya kamu sempat mengalami ini dulu? Masda? Lalu kamu masih baik-baik saja. Bahkan kamu masih menjadi mahasiswa terbaik di angkatan. Hei, kamu tidak lemah!”

“Tapi waktu masih ada sisa harapankan saat itu? Setidaknya belum  ada yang mengontrak dia.”

“Sebegitu cintakah kau dengannya?”

“Bohong jika aku berkata tidak!”

“Kenapa?”

“Ada daun yang jauh dari pohon, lalu ia tertiup angin. Kamu bisa membayangkan betapa tak berharganya daun itu. tapi tanah begitu mencintainya. Ia menjadikan sebuah daun yang berharga dengan menyediakan seluruh badannya untuk daun itu bersandar. Bukan hanya tempat menaruh beban tapi tanah mampu menjadikannya berguna untuk menyuburkannya.”

“Dia tanah?”

“Tanah yang membuatku mati tidak sia-sia.”

“Semua orang bisa menjadikannya tanah bagimu! Apa kamu pikir dulu aku tak menjadikan diriku tanah bagimu?”

“Daun jatuh dimana dia ditakdirkan jatuh. Aku ditakdirkan jatuh di tanahnya.”

Dunia membisu, kelabu menerkam perasaan hampa. Percakapan hari ini diakhiri oleh diam. Mungkin temanku itu lelah. Kami memandangi hal yang sama, pada satu tujuan. Namun arti dari pandangan kami berbeda. Berusaha kuat menatap atau bahagia karena telah dipertemukan.